Assalamu'alaikum...

Rabu, 11 Mei 2011

(Sambungan Shalat Khusyu)

VI:
            Di atas segalanya, haruslah diingat bahwa shalat yang khusyu’ itu, menurut firman-Nya: “… (adalah) shalat yang terjaga/terpelihara…” 5) Artinya, bukan sekadar terjaga/terpelihara untuk dikerjakan pada waktunya, tapi – dan ini yang penting – juga terjaga/terpelihara dalam pengerjaan setiap aspek rukunnya, baik rukun fi’liy ataupun rukun qawliy-nya. Karena itulah Rasulullah saw meriwayatkan, bahwa shalat kita akan dihadapkan kepada Allah dalam bentuk seperti makhluk. Kalau shalat itu dikerjakan dengan bagus – baik berdirinya, ruku’nya, sujudnya, dan duduknya – maka ia seperti makhluk yang cantik/sempurna, ada kepalanya, badannya, tangannya, dan kakinya. Tapi, kalau shalat itu dikerjakan dengan tidak bagus – yang shalatnya lalai – maka ia seperti makhluk yang buruk/cacat, tanpa kepala, atau tanpa badan, tanpa tangan ataupun kaki, dan akan dipukulkan kepada si pelaku shalatnya (mushallin)! 6)
______________________________

5)            Lihat: Al-Qur’an, surah Al-Mu’minun, 23: 9.
6)            Lihat  Al-Qur’an, surah Al-Ma’un, 107: 4-7.


VII:
            Dan pada akhirnya, shalat yang khusyu itu – kalau sudah terjiwai dalam setiap pengerjaannya – niscaya akan terefleksikan/teraplikasikan dalam peri-kehidupan di luar shalat, sehingga menjadi kebiasaan (habits) yang sangat efektif – sebagai spirit yang membuahkan pencerahan dan kebahagiaan hidup lahir-batin.
Adapun spirit-spirit yang harus menjadi kebiasaan itu – sesuai dengan urutan gerak-gerak shalat – ada 7 macam sebagai berikut:
1.         Iqamah (bangkit) sebagai perwujudan alif (ا  ), artinya selalu bangkit untuk menyongsong kehidupan, aktif, tegak, dan siaga penuh.
2.         Hal/Haya (terkondisi/bersegera) sebagai perwujudan ha (ح ), artinya selalu terkondisi, proaktif, inisiatif, dan bersegera dalam menghadapi apa pun.
3.         Istiqamah (teguh, konsisten) sebagai perwujudan alif (ا  ) lagi, artinya selalu teguh dalam mengerjakan sesuatu, tekun, lurus, dan konsisten.
4.         Mujahadah (berjuang, sungguh-sungguh) sebagai perwujudan mim  ( ), artinya selalu berjuang dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan sesuatu.
5.         Da’a (selalu mengajak) sebagai perwujudan dal ( د ), artinya selalu mengajak bersama (jama’ah), dengan penuh harap atas karunia-Nya (husnu-zhan).
6.         Muraqabah (merasa dekat) sebagai perwujudan mim ( ) lagi, artinya selalu merasa dekat dengan Allah, juga dengan siapa pun dan dalam hal apa pun.
7.         Da’im (pengekalan) sebagai perwujudan dal ( د ) lagi, artinya selalu mengekalkan spirit-spirit shalat dalam peri-kehidupan di luar shalat, baik di mana pun, kapan pun, ke siapa pun, dan bagaimana pun – sehingga keberadaannya bagaikan kesatuan saksi/penyaksian (wahdat usy-syuhud) atas Keberadaan Allah…

            Insya Allah, itulah “shalatan da’iman” yang akan sealu terefleksi/teraplikasi dalam “7 Kebiasaan Shalat” kita sehari-hari…

            Wallahu a’lam… []

Senin, 24 Januari 2011

Menghidupkan yang Mati
 
                Ibrarim as berkata: "Ya RABB, perlihatkanlah kepada hamba bagaimana KAU menghidupkan yang mati..."
            ALLAH berfirman: "Apa kau tak percaya?"
            Jawab Ibrahim as: "Percaya, tapi hati hamba ingin lebih mantap..."
            FirmanNYA: "(Kalau begitu) ambillah 4 burung, cincanglah/satukanlah, dan letakkanlah masing2 di atas gunung, kemudian panggillah, niscaya ia seger
a mendatangimu..."
            (AL-BAQARAH, 2 : 260)
 

(AN-NAJM, 53 : 7-18)


"Dia berada di ufuk yang tinggi,
lalu mendekat dan bertambah dekat,
hingga sedekat dua ujung busur atau lebih dekat lagi,
Dia mewahyukan kepada hambaNya apa yang diwahyukan,
dan hatinya tak mendustakan apa yang dilihatnya...
apakah (mereka) mau membantahnya tentang apa yang dilihatnya?
sungguh ia telah melihatNya pada ketika lain,
yakni di Sidratil-Muntaha,
di sisinya ada surga yang tinggi,
ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputi,
penglihatannya tak berpaling dan tak berlebihan,
sungguh ia melihat tanda-tanda Tuhannya yang Begitu Besar..."

Minggu, 23 Januari 2011

"Di antara hambaKU di HadiratKU yang paling membuat kagum ialah si Mu'min yang kurang hartanya, menemukan nasibnya dalam shalat, paling baik ibadahnya untukKU, dan taat kepadaKU sembunyi atau terang... ia tak terlihat di tengah khalayak, tak tertuding telunjuk, rizkinya pas-pasan, tapi ia sabar selalu..."
Rasul saw menjentikkan jari-jarinya, lanjutnya:
"Kematiannya pun dipercepat, tangisnya hanya sedikit, dan peninggalannya amat kurangnya..."
(HADITS QUDSI)

Rabu, 05 Januari 2011

Mengingat Saat Kematian (Zikrul-Mawt) V:


          Akhir babak, bayangkan: tiba-tiba aku kembali menyadari keberadaan diriku, berada dalam liang tanah sempit dan pekat! Sepertinya, Allah mengembalikan sebagian ruh hidupku ke tubuhku, sehingga aku pun terbangun dengan tubuh hanya berlapis kafan.
          Bagai kebingungan aku bertanya diri: adakah ini yang disebut Alam Kubur? Apa yang akan terjadi? Dan, apa pula yang akan muncul, apakah Malaikat Munkar dan Naqir -- yang penampilannya saja entah seperti apa? Ke mana aku bisa lari atau sembunyi di liang tanah sempit dan pekat ini? Bagaimana aku harus menghindarinya? Atau harus menghadapinya, tapi bagaimana bisa? Bagaimana kalau tak bisa, bisakah aku minta tolong atau minta tangguh? Ke mana pula kedigjayaanku yang kumiliki dulu -- baik itu berupa kekuasaan, kewenangan, kegagahan, kehebatan, kepintaran, kelihaian, kekayaan, kemewahan, kepangkatan, kesombongan, keakuan, atau apa pun nyatanya...
          Ya, inilah saat yang paling menentukan apa jadinya aku...
          (Dan, inilah saat sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw, "Alam Kubur itu lebih menakutkan/mengerikan ketimbang segala hal yang menakutkan/mengerikan yang pernah kusaksikan!" Sabdanya lagi, "Alam Kubur itu adalah tahap awal dari tahap-tahap Alam Akhirat. Barangsiapa yang bisa bebas dari azabnya, maka ia akan lebih mudah menjalani tahap-tahap berikutnya. Tapi, barangsiapa yang tak bisa bebas dari azabnya, niscaya ia akan lebih sulit lagi menjalani tahap-tahap berikutnya..."
          Apa jadinya aku...?
          ... 

[: Ditunda...]
Mengingat Saat Kematian (Zikrul-Mawt) IV:


          Tiba-tiba kulihat ada kendaraan datang: mobil jenazah! Begitu sampai, dari mobil jenazah itu dikeluarkan sebuah keranda, dimasukkan ke tengah rumah dan diletakkan di samping tubuhku. Kemudian, beberapa orang mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke dalam keranda itu. Diusung ke luar rumah, lalu dimasukkan ke mobil jenazah. Selanjutnya, mobil jenazah itu berjalan dengan kerlipan lampu sirinenya, diiringkan mobil-mobil lain di belakangnya. Dan, seperti tak mau kalah, motor-motor pun tampak ikut mengiringkan dengan berseliweran...
          Di ujung perjalanan, mobil jenazah yang mengangkut tubuhku itu berhenti di depan gerbang sebuah pemakaman. Orang-orang kembali mengeluarkan keranda dari mobil jenazah, mengusungnya beramai-ramai ke tengah pemakaman, dan berhenti di sebuah liang tanah persegi yang tampaknya sudah dipersiapkan. Pelan-pelan keranda itu diletakkan di pinggir liang. Lalu, beberapa orang mengangkat tubuhku dari keranda, memasukkannya ke dalam liang. Di liang tanah persegi itu tampak tubuhku dibaringkan dengan posisi menyamping, dengan beralas bantalan dari tanah yang dibulat-bulatkan. Kulihat ikatan yang membungkus kafanku dilepas semua, dan lapisan kafan yang menutup wajahku pun dibuka lebar-lebar. Tampak wajahku diciumkan ke dinding tanah...
          Tak lama kemudian, orang-orang menutup liang tanah persegi itu dengan sekat hamparan papan. Lalu, mengurugnya dengan tanah, hingga penuh berbentuk kuburan. Ya, itulah kuburanku! Dengan nisan di atasnya bertuliskan namaku, dan taburan bunga. Selanjutnya kulihat orang-orang berdoa dengan iringan tangis isteri dan anak-anakku, juga orangtua dan saudara-saudaraku. Usai berdoa dan bertangis-tangisan, akhirnya semua orang tampak meninggalkan pemakaman itu -- kembali. Tinggallah aku dalam kesendirian yang teramat hampa, bahkan rasanya teramat sangat lengang. Rasanya ada semacam kehilangan yang begitu mencekam, rasa kehilangan segala-galanya. Dan, tiba-tiba rasanya semua menjadi gelap, dan gulita. Pekat! Rasanya kesadaran ruang dan waktu pun sirna dalam dalam ketiadaan. Tapi, itu sebenarnya belum apa-apa -- belum segala-galanya...
...

Mengingat Saat Kematian (Zikrul-Mawt) III:


          Babak selanjutnya, bayangkan: tiba-tiba rasanya aku seperti terisap memasuki sebuah pusaran gelap. Hilang akal dan daya, dan kesadaran pun sirna. Tapi, sekejap kemudian kesadaranku kembali. Rasanya percaya tak percaya! Aku merasa diriku berada di luar tubuhku, dan kulihat di depanku tubuhku tergeletak tak bergerak sedikit pun. Juga kulihat orang-orang terdekatku -- isteri dan anak-anakku, orangtuaku, dan saudara-saudaraku -- datang berebut memeluk erat tubuhku, sebagiannya malah menangis. Lalu, kelihatan semua menjadi sibuk. Tubuhku tampak digotong ke tengah rumah, dibaringkan telentang dengan kedua tangan dilipat di atas dada. terus diselimuti kain batik. Sementara itu, orang-orang tampak berdatangan. Melayat! Di antaranya ada yang kukenal -- entah itu saudara, teman ataupun tetangga -- tapi sebagiannya lagi tak kukenal. Biar begitu, tampaknya semua datang karena melayatiku...
          Kemudian, kulihat tubuhku digotong ke satu pojokan yang ditutup kain. Dibaringkan di sebuah alat pemandian mayat! Tubuhku yang kini telanjang itu diguyuri air, dari mulai kepala sampai ujung kaki. Juga disabuni dan dikeramasi, digosok-gosok dan ditekan-tekan -- terutama di sekitar perut. Hingga kotoranku keluar semua. Dan, akhirnya dibasuh dengan air kapur barus. Setelah itu, tubuhku kembali digotong. Dibaringkan di atas hamparan kain putih berlapis kapas, dibungkus dengan beberapa lapis kafan, dengan ikatan di ujung kepala dan kaki...
          Seperti tadi, tubuhku yang sudah terbungkus kafan itu kembali dibaringkan di tengan rumah, diselimuti kain batik lagi. Orang-orang pun terus berdatangan, sebagiannya malah kukenal sebagai saudara atau teman jauh dari luar kota. Ada rasa ingin menegur mereka, tapi tak ada suara. Bahkan, aku pun tak bisa mendengar suara mereka. Aku hanya bisa melihat, dengan agak terheran -- rasanya seperti melayang. Seperti bisa menembus apa pun. Tapi, anehnya aku tak bisa melihat diriku sendiri...
          Kulihat semakin banyak saja yang datang melayat. Lalu, kaum prianya tampak berkumpul dan berjajar di depan tubuhku. Semua membentuk beberapa barisan yang rapat, yang dipimpin seorang kiyai. Tampaknya mereka sedang mendirikan shalat jenazah! Sementara itu, kaum wanitanya tampak sebagian berkelompok di pinggir. Ada yang sambil mengaji, atau yang terus menangis, tapi ada juga yang hanya mengobrol. Sebagiannya lagi tampak di belakang, sibuk membuat rangkaian bunga ataupun memasak...
...

Selasa, 04 Januari 2011

Mengingat Saat Kematian (Zikrul-Mawt) II:


          Kala itu, sungguh, aku hanya punya tiga helaan nafas! Bahkan, nafas yang pertama mungkin lewat sudah, yaitu kala aku begitu megap-megap menahan beratnya nafas kesakitan tadi. Nafas yang kedua, yaitu kala aku terhenyak melihat Sang Malaikat Maut siap menjemput kematian. Muncul rasa takut yang teramat sangat, takut dan sekaligus ngeri yang tak terlukiskan, campur-aduk dengan rasa waswas dan khawatir. Godaannya lagi belum rasa sedih dan berat hati, dan tak kurang rasa belum siap -- ya, belum siap mati...
          Mungkin, inilah tahap ujianku yang terakhir. Apakah aku mampu (dengan hidayah Allah) melepaskan segenap godaan rasa sedih dan berat hati meninggalkan dunia ini -- baik itu yang berupa isteri, anak, orangtua, saudara, kekasih, sahabat, teman, bos/majikan ataupun anak-buah; atau rumah, gedung, kantor, pabrik, toko, harta, pangkat, titel ataupun apa namanya. Bahkan, yang berupa penyakit, penderitaan, penyesalan, dendam-kesumat ataupun kemarahan; atau kebencian, kesusahan, kekurangan, kebodohan, kemiskinan ataupun kesengsaraan. Apakah semua itu mampu aku lepas dengan pasrah (muslim) serta penyerahan diri atas-Nya, dengan menyambut jemputan Sang Malaikat Maut secara suka-cita -- layaknya menyambut jemputan untuk menemui Kekasih Sejati. Ataukah semua itu malah semakin menjadi 'kemelekatan' yang berkarat sangat, yang akibatnya tak ampun lagi hanya semakin berat menyumbat ujung kerongkonganku...
          Betapa tidak, beratnya 'kemelekatan' itu muncul dalam bentuk bayangan-bayangan atau kenangan-kenangan tentang masa lalu yang begitu mengesankan dalam kehidupanku, masa-masa yang begitu indah. Ataupun dalam bentuk impian-impian atau harapan-harapan tentang masa depan yang begitu menyilaukan, atau dalam bentuk pikiran-pikiran yang memabukkan atau meresahkan. Semuanya muncul ke hadapanku, satu per satu, seperti film yang diputar ulang dengan durasi yang lambat. Di tengah kesakitan yang teramat sangat, aku pun terombang-ambing di antara ribuan penampakan yang mengepungku, dan aku seperti dibetot dengan kekuatan magnet yang luar biasa ke penampakan-penampakan itu. Kalaupun aku bertahan, rasanya begitu megap-megap saking beratnya 'kemelekatan' yang mencekik sisa nafasku...
          Ya, akhirnya aku hanya punya sisa nafas yang terakhir. Itupun rasanya seperti disedot kuat oleh Sang Malaikat Maut lewat ubun-ubun, dan rasanya segenap kesakitanku mencapai titik kulminasinya. Dari mulai rahang, mulut, pipi, hidung, mata, kuping, kening, terus ke ubun-ubun. Rasanya seisi kepalaku seperti meledak! Sementara itu, lamat-lamat aklu pun melihat suatu gambaran nyata -- seperti gambar hidup saja...
          (Itulah gambaran seperti yang diberitakan Rasullullah saw, "Tak seorang pun yang meninggal dunia, kecuali dia diberi tahu bakal tempat tinggalnya di Akhirat kelak: surga atau neraka...")
          ...

Mengingat Saat Kematian (Zikrul-Mawt) I:

 

          Saat kematian itu datang, tiba-tiba saja aku seperti tersentak dari kesadaran hidup. Bayangkan: ada rasa sakit yang menggigit sangat dari ujung kaki, rasanya seperti kulit dikelupas! Rasa sakit itu terus merayap naik ke telapak kaki, terus ke tumit, ke mata kaki, dan merayap terus ke betis. Terus, sampai ke dengkul, ke paha, dan terus ke atas. Sementara itu, yang namanya kesadaran hilang timbul saking menahan sakitnya. Rasanya mulutku pun ingin berteriak, menjerit atau meraung, tapi tak ada suara yang keluar. Sepertinya, ketika itu Allah telah mengunci kemampuan bicara dari mulutku. Begitupun dengan kemampuan lihat dari mataku, serta kemampuan dengar dari telingaku, satu per satu terkunci. Tak ada cahayanya lagi...
          Aku, rasanya, seperti teriris oleh ribuan sembilu yang mengilu-ngilu. Dan, rasa sakitnya semakin terus merayap, naik ke pinggul dan kemaluanku. Terus naik ke perut, rasanya seperti silet yang menyilet-nyilet usus dan lambungku. Sungguh, tak tertanggungkan perihnya. Ketika aku ingin menggelenjotkan kaki -- sebagai refleks atas keperihan yang tak tertanggungkan itu -- ternyata malah kakiku tak bisa digerakkan lagi. Mati! Rasanya sudah tak ada rasa lagi. Tapi, kesakitan itu terus merayap ke dada, rasanya begitu sesak. Nafas seperti meledakkan pampatan hawa yang teramat dingin. Juga, dari ujung tangan, kesakitan merayap naik ke telapak tangan, terus ke pergelangan, ke lengan. Naik ke siku, ke bahu, sampai ke dada...
          Di ujung leher, aku mulai menyadari, bahwa inilah kematian! Inilah saat yang sudah dimaktubkan Allah sejak awal perjanjian purba ('azaly). Aku pun terhenyak. Lamat-lamat aku melihat ada suatu makhluk yang berdiri tegak persis di depanku. Dan, batinku berseru: itulah Izra'il! Itulah Sang Malaikat Maut yang siap menjemputku, suka ataupun terpaksa, dengan penampilannya yang tak terperikan...
          (Syukur, kalau dia menampakkan diri dengan wajah ramah, cerah, penuh senyum indah. Kalau sebaliknya, na'udzubillah...)
...